Seperti baru kemarin bom Sarinah mengguncang ibukota Republik Indonesia, kini satu lagi aksi teror kembali menggemparkan
bangsa Indonesia. Meski ledakan itu terjadi jauh
di Pulau Jawa, masyarakat Indonesia hingga pelosoknya turut berduka. Dua ledakan bom di
Kampung Melayu
dengan jelas memperlihatkan bahwa
“penyakit” lama akibat misinterpretasi terhadap ajaran agama
belum sepenuhnya sembuh,
penyakit
ini
bernama “Ekstrimisme.” Sejatinya ekstrimisme tidak hanya akan mengancam suatu masyarakat di suatu tempat atau kota tertentu. Sebagai warga yang hidup di Sumatera Selatan dan di kota
Palembang khususnya, kita harus mensyukuri
salah satu berkah atas wilayah ini. Palembang maupun Sumatera Selatan adalah tempat yang kaya bukan hanya tentang hasil buminya, tetapi juga dengan kesejarahannya. Kekayaan warisan sejarah menjadikan
kita dapat
menengok masa lalu Sumatera
Selatan yang ternyata pernah menghadapi ancaman esktrimisme keagamaan di masa kolonial. Meskipun tidak sempurna sama, tetapi gagasan
yang melandaskan kekerasan beragama cenderung memililki kemiripan. Dengan mempelajari masa lalu serta menyajikannya untuk bekal masa depan, adalah sebuah usaha menghidupkan
kesadaran dan menghindari kematian bangsa seperti halnya pendapat Kahlil Gibran : “Ya, tapi kematian bangsaku adalah dakwaan diam; itulah sebabnya kejahatan-kejahatan yang disusun oleh kepala-kepala ular tak nampak...Itulah nyanyian dan adegan yang menyedihkan...”
Pada zaman kolonial, Palembang menjadi sebuah tempat yang penting bagi
perekonomian Hindia Belanda. Pada dekade ketiga dan keempat abad
ke-20, Palembang telah
menjadi wingewesten atau
“Daerah Untung” bagi pemerintahan kolonial. Tetapi,
Hindia Belanda tidak secara instan memperoleh “manisnya” Palembang.
Meski sebelumnya telah berhasil menghapuskan Kesultanan
Palembang pada 1823, Belanda sempat mengalami
gangguan serius berupa pemberontakan Suku Pasemah yang menyerang beberapa kota seperti
Palembang dan Lahat (1829), Musi Ulu (1837), Rejang (1840), serta Ampat Lawang (1840-1850). Mestika Zed mengemukakan dalam buku
Kepialangan
Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950 bahwa pra kondisi yang diperlukan bagi kepentingan politik dan ekonomi kolonial Belanda di Palembang baru mulai terbentuk pada tahun-tahun
1875-1907. Pada periode
1887-1893 dibuka 21 perkebunan tanaman
dagang kopi di tanah-tanah Erfpacht (tanah sewa 75 tahun) dengan luas 37.000 hektar.
Allan Akbar dalam bukunya yang ia tulis
Memata-matai
Kaum Pergerakan menerangkan bahwa di Palembang – seperti halnya di Sumatera Utara – ditempatkanlah Cultuur Politie atau “Polisi
Perkebunan” untuk menjaga
perkebunan-perkebunan asing.
Hal ini hanya
sedikit
gambaran tentang kuasa kolonial
menjaga kepentingannya di Palembang.
![]() |
Pasukan KNIL dan seragamnya di era 1910-an |
Walaupun Palembang “dicekik” oleh
pengawasan alat-alat kolonial,
tidak berarti bahwa semangat keagamaan dan kemasyarakatan warga Palembang menjadi “tersengal.” Semangat untuk meninggikan martabat
Bumiputra Muslim ternyata masih tetap tumbuh.
Memasuki
awal paruh kedua abad ke-20, tepatnya tahun 1912, H.O.S Cokroaminoto telah
menyelesaikan anggaran
dasar Sarekat
Islam (SI)
pada tanggal 10
September.
Kongres pertama SI digelar pada tanggal 26 Januari 1913 saat Cokroaminoto
membukanya dengan pidato kharismatik, “...Bahwa apabila rakyat sudah bangun
dari
tidurnya, tidak ada sesuatu
yang dapat menghalanginya... Bahwa perhimpunan
SI sebagai air bah yang mengalir pada
mulanya, tetapi tidak lama antaranya menjadi banjir yang amat derasnya !.” Sungguh suatu momentum yang pada perkembangannya juga turut disimak oleh beberapa anggota
perkumpulan sosial di Palembang.
Sarekat Islam – seperti
dalam pidato Cokroaminoto – memiliki jangkauan yang luas sehingga mereka membagi wilayah organisasi menjadi tiga yakni Jawa Barat yang mencakup wilayah
Sumatera, Jawa Tengah yang juga membawahi Kalimantan,, dan Jawa
Timur yang ikut meliputi Nusa Tenggara. Tujuh bulan setelah kongres, H.O.S Cokroaminoto selaku
pimpinan teras SI datang memperkenalkan SI kepada dua perkumpulan sosial di Palembang yakni Al-Ihsan dan Tjahaja Boediman. Al-Ihsan
adalah perkumpulan
sosial orang Arab yang dibentuk sejak 1907, selain bergerak pada bidang Hulpbetoon (tolong menolong), perkumpulan
ini juga bergerak di bidang pendidikan
serta sempat mendirikan satu sekolah di Kampung Arab 10 Ilir kota Palembang. Tjahaja Boediman
dibentuk oleh para pedagang
Boemiputra (pribumi) pada tahun 1912, tujuan perkumpulan ini hampir sama dengan Al-
Ihsan
di
samping pula menerbitkan surat kabar Warta Palembang. Sebagai organisasi
yang
memperhatikan masalah pendidikan Islam, anak-anak anggota
Tjahaja Boediman turut
memperoleh beasiswa. Jumlah anggota
Tjahaja Boediman telah mencapai 222 orang pada
tahun 1913. Secara resmi SI Palembang baru tersusun kepengurusannya pada bulan Januari 1914 dengan ketuanya adalah Raden Nangling (pedagang dan pemilik hotel
Nangling) ; Cik
Entik
Zainal
Abidin selaku wakil ketua ;
dan Abdul Karim dari perkumpulan Al-Ihsan diangkat
sebagai
sekretaris.SI kemudian
menjadi sebuah organisasi
sosial-politik yang dinamis tidak sebatas merekrut orang-orang dari dua perkumpulan sosial itu, anggota-
anggotanya di kota ini
berasal dari berbagai kalangan
bahkan sampai ke daerah-daerah pedalaman.
Dikarenakan Islam adalah agama yang mayoritas dianut oleh orang-orang Palembang
dan
sekitarnya, penyebaran dan perkembangan organisasi SI juga cukup pesat. Setahun sejak berdiri, anggota SI yang terdaftar di kota Palembang termasuk mereka yang mendaftarkan diri dari daerah pedalaman, telah mencapai 3.200 orang. Perkembangan ini memberikan citra yang positif bagi SI di
Palembang dan sekitarnya. Menurunnya frekuensi tindak kriminal seperti pencurian maupun perjudian di daerah Sumatera Selatan, contohnya pada tahun 1914, seringkali dihubungkan dengan pengaruh SI. Namun, menanam kebaikan kerap kali menuai cobaan yang tidak kalah besar, ada saja oknum “sempalan” yang mengatasnamakan SI tetapi bertindak di luar batas gerakan Islam yang positif. Hal yang harus dimengerti adalah SI di
daerah Sumatera Selatan untuk jangka waktu dua tahun setelahnya (1916) mengalami peningkatan jumlah pengikut menjadi 33.400
orang. Jumlah itu menempatkan cabang SI Sumatera Selatan sebagai yang terbesar di antara dua cabang luar Jawa yakni Sumatera Barat
dan
Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara). Besarnya jumlah anggota memungkinkan adanya
ketidakpatuhan dalam jajaran akar rumput SI, elemen tersebut menyebabkan
berbagai
kekacauan yang timbul berupa kerusuhan melawan para pejabat tradisional (Pasirah) pada
tahun 1915, sehingga sejak bulan Juni 1916 pemerintah kolonial melarang pendaftarann
anggota baru SI di tingkan Marga. Elemen sempalan yang melakukan tindakan deviasi
(penyimpangan) itu baru muncul ke permukaan sekitar bulan Agustus 1916 dengan menamai diri mereka sebagai Sarikat Abang (SA).
Sarikat Abang (SA) dipimpin oleh Haji
Goh
yang berasal dari Talang Balai Ogan Ilir
dengan didampingi beberapa orang asal Rawas seperti Haji Arsyad dan Said bin Kikim alias
Paswah. Sejak akhir Agustus tahun 1916 gelagat yang dinilai aneh oleh kebanyakan
masyarakat mulai ditampilkan
oleh SA. Kaum SA selalu memakai Destar Abang (merah)
dengan dilengkapi berbagai senjata tajam, menyelenggarakan pengajian keagamaan disertai latihan bela
diri,
berseru “Kam
Kim Koem, Kapiroen ! ”,
serta
meneriakkan
kata-kata
persuasif untuk menolak membayar pajak dan kerja rodi. Namun anehnya mereka
tidak segan melukai siapa saja (terutama rakyat sispil) yang tidak menyahut seruannya. Dalam buku
The
Netherlands Indies and The Great War 1914-1918 karangan Kees Van Dijk disebutkan
bahwa kekerasan telah terjadi sejak bulan Agustus
1916 yang pertama kali muncul di Jambi
dan menyebar ke Keresidenan Palembang
(khususnya
Rawas) juga
diliputi isu akan datangnya bantuan militer serta campur tangan Istanbul (Ottoman
Turki). Rawas berada jauh
dari pusat pemerintahan kolonial di Palembang, tetapi lebih dekat dengan pusat pemerintahan kolonial
di
Jambi, sayangnya
kendali di Jambi lebih lemah dan memudahkan masuknya
“senjata-senjata gelap.” Terlihat bahwa
pemerintah kolonial
yang berpusat di Belanda
sebagai negara yang netral dalam Perang Dunia I (1914-1918) mulai mengaitkan kerusuhan ini dengan
kejadian aktual
dunia pada masa itu. Fakta yang ada tidak membuktikan
keterlibatan Ottoman dalam kasus SA, yang mana kemudian kelompok ini juga tidak
menargetkan Jambi.
Pemberontakan terbuka yang dilancarkan SA terjadi pada 9 Oktober 1916 dengan
serentak di Dusun Pauh dan Batu Kucing sejak pukul 5 sore. Dalam perjalanannya untuk
menyerang perkantoran pemerintah di Surulangun
(Ibukota Distrik Rawas Keresidenan Palembang), mereka menyerang kantor para Pasirah dan memprovokasi
setiap Dusun untuk
berontak,
dalam waktu tiga
hari jumlah mereka
mencapai 2000
orang.
Sesampainya di
Surulangun mereka menyerang, membakar, dan membongkar gedung-gedung maupun rumah
pejabat pemerintah. Sore harinya baru didatangkan pasukan dari Lahat dan Palembang untuk merebut kembali Surulangun. Pertempuran hebat terjadi yang menewaskan
38 anggota SA
(termasuk seorang Pasirah Muara Rupit yang bergabung), 5 luka berat, 3 orang pemimpin
SA ditangkap. Pasukan pemerintah
juga
melucuti banyak senjata, kurang lebih 500 pucuk senjata
api berbagai jenis dan lebih banyak lagi senjata tajam. SI kota Palembang dituduh terlibat
pemberontakan SA serta menjadi penyebab kekacauan di Surulangun.
Terjadilah penangkapan-penangkapan
atas para pemimpin SI di Sumatera Selatan : Raden Nangling (tidak diketahui nasibnya), Anang Abdoerrahaman
(Presiden SI Lokal Lematang Ulu), Nan
Buyung (Presiden SI Lokal Lahat), Haji Mohammad Apil (Presiden SI Lokal Marga Gumai
Lebak), dan Abdoerrahim bin Alis (Presiden SI Lokal
Pagaralam), serta tokoh-tokoh lainnya
yang dipenjarakan
maupun dihukum mati.
Pemberontakan Sarikat Abang dapat dipandang sebagai perlawanan rakyat akibat ketidakpuasan atas tata peraturan
pemerintah kolonial di masa itu. Bagaimanapun, SA tetap
menjadi sebuah contoh tindakan ekstrimisme
yang
sempat
menimbulkan
kerugian atas gerakan SI yang
saat
itu tengah berusaha untuk memperbaiki kondisi kehidupan rakyat pribumi Muslim di Palembang khususnya ataupun Sumatera Selatan secara umum. Dalam
gerakannya, SA tidak jarang melakukan
kekerasan atas siapapun, termasuk kepada saudara seagamanya yang menolak untuk menyambut seruan serta gagasan mereka. Meskipun
kemudian pada tahun 1919 pasca pemberontakan tersebut pemerintah kolonial mengevaluasi diri untuk kemudian mengeluarkan peraturan keringanan pajak dan kerja rodi – salah satu sisi
positif dari
pemberontakan
SA
– tetapi bekas dari pemberontakan yang merenggut beberapa
nyawa tetap tidak bisa terhapus begitu saja. H.O.S Cokroaminoto datang untuk kali kedua
pada tahun 1919 ke Palembang, ia memprioritaskan program moderat untuk meningkatkan “Kepinteran jang Lahir “ (Pendidikan) dan “Kepinteran jang Bathin” (Ilmu Agama Islam).
Dari
kisah ini, masyarakat kota Palembang dapat menilai dengan mendalam bahwasannya tindakan ekstrimisme sejak dahulu telah ada. Tidak jarang kekerasan itu membawa simbol-simbol agama tertentu untuk
melgitimasi kekerasan yang sesungguhnya
sangat dilarang dalam ajaran agama, terlebih lagi dalam Islam. Seruan seperti
“Kam Kim Koem, Kapiroen” yang diteriakkan kaum SA kurang lebih seabad yang lalu nampaknya juga sering terdengar di masa kini, utamanya diucapkan oleh kelompok garis keras yang sangat mudah mengkafirkan
orang lain. Teror-teror ledakan bom yang beberapa kali mengguncang
Indonesia bahkan lebih buruk dari serangan
SA ke Surulangun, mengingat bahwa SA
menargetkan serangan kepada objek-objek kolonial. Terorisme yang kita hadapi di masa kini
ialah sebentuk kekerasan yang ditujukan
kepada hampir seluruh orang seperti kepada kaum
minoritas, aparat kepolisian, ataupun rakyat sipil yang sebenarnya masih saudara sebangsanya atau bahkan juga saudara seagamanya. Golongan garis keras ini tidak
lagi merasa malu untuk menyatakan mimpinya tentang merubah tatanan negara, meskipun telah jelas kemerdekaan Indonesia beserta esensi
ideologis
pancasila
telah final diperjuangkan oleh
para pahlawan termasuk oleh kaum ulama Islam.
Dengan sekelumit kajian ini penulis berharap agar masyarakat Muslim Palembang dapat mengambil hikmah di bulan Ramadhan yang suci ini. Kita harus tetap waspada atas kemungkinan menyebarnya paham-paham ekstrim yang dapat merusak tatanan hubungan
antar-elemen masyarakat Palembang yang plural serta
telah lama dikenal
akan toleransinya yang secara egaliter membudaya. Kaum Muslimin Palembang sebagai komponen demografis
terbesar memiliki kewajiban untuk menjaga budaya toleransi tersebut.
Tribun Sumsel 12 Juli 2017
Oleh : Arafah Pramasto, S.Pd.
Sumber :
Dijk, Kees Van, The Netherlands Indies and The Great War 1914-1918,
Leiden : KITLV
Press, 2008.
Tim, “Ikhtisar Kongres-Kongres Syarikat Islam dan Party Syarikat Islam Indonesia”, Panitia
MTLB Syarikat Islam 2010.
Tim, Tjokroaminoto : Guru Para Pendiri Bangsa, Jakarta
: Tempo, 2011.
Zed, Mestika, Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950,
Jakarta: Pustaka LP3ES Indoneisa, 2003.